Dilema Pilkada di Era New Normal Covid-19 Perspektif Psikologi Lintas Budaya
(378 Views) November 15, 2020 10:50 am | Published by PP PPIB | Comments Off on Dilema Pilkada di Era New Normal Covid-19 Perspektif Psikologi Lintas BudayaOleh: Nurjadid
Pendidik di MAN Salatiga, Jawa Tengah
Masyarakat Indonesia akan melaksanakan pilkada lagi, yang mana banyak kalangan meminta supaya ditunda, namun pemangku kebijakan seperti ; KPU, DPR dan Pemerintah sudah sepakat tetap dilaksanakan, tentunya dengan protokol kesehatan, terlihat bahwa presiden Jokowi menerjunkan satgas baru yang digawangi oleh Luhut Binsar Panjaitan yang dinilai tegas.
Penulis mencoba mengingatkan kembali mengenai kepribadian Indonesia yang berakar dari beberapa kultur kaum nenek moyang kita, yakni kaum peramu, kaum petani ladang, kaum petani sawah, serta masyarakat pesisir serta millenial. Dari sinilah kepribadian manusia Indonesia dimulai, karena bangsa ini memiliki mentalitas atau karakteristik yang beragam dari perspektif psikologi lintas budaya;
Pertama kaum peramu. Beberapa bagian bangsa ini nenek moyangnya adalah peramu, mempunyai pola hidup nomaden atau istilah lain kaum peramu ini suka mengembara dan konsumptif, mereka suka berpindah – pindah. Maka kelemahan Mentalitas kaum peramu di Indonesia digiring oleh para penjajah untuk tidak suka menonjolkan diri, tidak suka sombong, senang tolong- menolong tapi juga nrimo ing pandum, tetapi kebanyakan kultur orang Indonesia gengsi / malu minta tolong , mereka berfikir supaya bisa menolong dirinya sendiri, memikul nasibnya sendiri. Harga diri disini sangatlah dijunjung tinggi, maka berkaitan dengan pilkada dari asal muasal pola pikir masyarakat Indonesia khususnya peramu adalah tetap akan bela mati-matian, gengsi jika sudah menjagokan calonya walaupun terang –terang tidak amanah, dari parpol yang kurang amanah.
Kedua kaum petani ladang. Nenek moyang bangsa ini sebagiannya adalah para kaum petani ladang mempunyai pola hidup diam , dan menetap disuatu tempat tertentu , mereka bertahan hidup dari bercocok tanam mereka. sehingga mentalitas petani ladang tersebut, cenderung didalam melakukan aktifitas baik bercocok tanam maupun yang lain , senang bekerja sama tidak hanya dengan satu daerah bahkan mereka bisa menjalin gotong- royong, bekerjasama dengan daerah lain. Kaitanya petani ladang dengan kepribadian Indonesia, petani ladang disini senang dengan saling menghadiahi dalam sebuah pendekatan. Dengan demikian jika dikaitkan dengan musim pilkada, para kandidat dengan sadar atau tidak sadar telah terjebak pada money politic yang dimaknai oleh masyarakat sebagai wani piro alias berani bayar berapa kalau saya pilih sampeyan.
Ketiga, bagian yang lainnya adalah para kaum petani sawah mempunyai pola kehidupan lebih menitik beratkan rohani dari pada jasmani, atau istilahnya mereka lebih mementingkan akherat daripada dunia. Mereka bertani dikaitkan dengan berreligi ( kraton , hindu, buda, islam ). mentalitasnya dipengaruhi oleh mental jawanisasi hindu budha, taat pada pemerintah untuk Islam serta bermental priyayi terhadap kepentingan pusat sebagai sumber kewibawaan , misalnya hubungan baik antara pemerintah pusat dan daerah ditentukan oleh kewibawaan pusat menentukan kewibawaan pemerintah provinsi, jadi kewibawaan atasan sangat menentukan prestige terhadap bawahanya. Tetapi kaum ini lebih dominan spiritualnya, sehingga startegi yang digunakan adalah pendekatan religious, yakni para pemuka agama berperan disini, seandainya pemuka agama sudah bisa disuap ya tunggu saja mimpi buruk bangsa ini.
Keempat kaum pesisir, pola kehidupan kaum pesisir sudah sangat kreatif, mereka beraktifitas dengan berdagang, khususnya rempah- rempah, yang membawa mereka dari satu pulau ke pulau yang lain , sebagai contoh orang makasar bugis di sulawesi, mereka juga bertani baik ladang ,maupun sawah dsb, tetapi mereka bertanipun dengan tujuan berdagang, misalkan mereka menanam padi agar supaya bisa mengexspor beras. Mengenai mentalitas kepribadian orang pesisir dicirikan dengan suatu mobilitas social, mereka lebih mengutamakan gengsi, baik secara pribadi maupun kelompok, mereka masih memandang tingkat klan- klan, yang paling kelihatan adalah untung rugi, lagi –lagi terjebak pada fatalism yaitu wani piro.
Kelima kaum millenial, generasi ini biasa manamai dirinya generasi Z, yang kelebihannya responsif , serta kritis dalam kemajuan sosial, namun Gampang bosan ,instan, maka banyak yang terjebak dengan iming -iming semu. Dengan demikian marilah kita hentikan ,kita putus mata rantai doktrin –doktrin para penjajah yang selalu dan selalu mengkerdilkan negeri ini. Terakhir selamat berpesta demokrasi diujung jari anda bangsa ini melejit atau sebaliknya, tentunya dengan tetap menjaga protokol kesehatan.
***
Comment Closed: Dilema Pilkada di Era New Normal Covid-19 Perspektif Psikologi Lintas Budaya
Sorry, comment are closed for this post.